Desember

Perihal yang kedua,

Selama 7-8 tahun belakangan (2017-2025) penulis berada dalam masa sekolah dan kuliah. Banyak peristiwa telah dilalui dan ribuan pengalaman telah dialami; berbagai emosi telah dirasakan serta kumpulan kenangan telah tersimpan.

Barangkali kita pernah atau kerap mendengar sebuah ungkapan yang bunyinya adalah bahwa “Pikiran menentukan apa yang kita Ucapkan; Ucapan menentukan Tindakan; Tindakan menentukan Kebiasaan; dan pada akhirnya Kebiasaan menentukan Karakter/Pribadi.

Singkatnya ada semacam konsekuensi dari pikiran terhadap pembentukan suatu karakter atau pribadi seorang individu: Pikiran > Ucapan > Tindakan > Kebiasaan > Karakter.

Saya akan mencoba memberikan ilustrasi dalam konteks “kekuasaan” alih-alih tentang “kepemimpinan” mengenai karakter dari penguasa alih-alih pemimpin, misalnya:

  • Seorang individu berpikir bahwa: memiliki kekuasaan, menjadi orang yang dihormati, dan memengaruhi hidup orang banyak; adalah sesuatu yang baik.
  • Sehingga individu tersebut kerap mengucapkan hal-hal yang sifatnya mengatur, mendominasi, dan barangkali memengaruhi perilaku suatu kelompok.
  • Kemudian ia melakukan tindakan-tindakan yang mengkooptasi kebebasan orang lain dengan menjadi sosok yang seolah memiliki pengetahuan atas segala hal sehingga berhak untuk mengatur perilaku orang lain secara mana suka.
  • Alhasil, hal ini membentuk kebiasaan individu tersebut ketika dalam suatu kelompok sosial untuk mencoba bertindak dan berperilaku secara berbeda dari kebanyakan orang dan cenderung memiliki keinginan untuk menonjol diantara individu yang lain.
  • Pada akhirnya, kebiasaan tersebut menjadikan seorang individu memiliki karakter yang haus akan validasi dan pengakuan dari orang lain atas keberadaannya dalam kelompok.

Dalam konteks ini, kita dapat melihat dengan jelas bahwa teori konsekuensi pikiran berangkat dari RASIONALISME sebagai asumsi dasar (Pikiran adalah sumber dari pengetahuan).

Saya ingin mencoba memperluas teori konsekuensi pikiran terhadap pembentukkan karakter individu dengan mengintegrasikan asumsi RASIONALISME dengan EMPIRISISME sebagai asumsi dasar (Selain daripada Pikiran, Pengalaman adalah juga merupakan sumber pengetahuan).

Peristiwa > Pengalaman > Pemaknaan > [Pikiran > Ucapan > Tindakan > Kebiasaan] > Karakter

  1. Peristiwa
    • KBBI mengartikan peristiwa sebagai kejadian (hal, perkara, dan sebagainya); kejadian yang luar biasa (menarik perhatian dan sebagainya); yang benar-benar terjadi.
    • Kita dapat menyimpulkan bahwa untuk mengkategorikan sesuatu hal termasuk sebuah peristiwa, maka ia harus memuat 3 syarat, yaitu: sebuah kejadian, luar biasa, dan benar-benar terjadi.
    • Dengan demikian, tidak semua hal di dunia ini dapat dikatakan sebagai sebuah peristiwa. Misalnya, Indonesia Emas 2045. Ini jelas bukan sebuah peristiwa karena pertama itu bukan (belum) kejadian, mungkin masuk syarat luar biasa, tetap syarat ketiga belum tentu terpenuhi karena (tidak) benar-benar terjadi.
    • Peristiwa haruslah sebuah kejadian, maka contohnya adalah kehilangan dompet sewaktu berdesak-desakkan di Pasar Tanah Abang, kita menyebutnya peristiwa kecopetan; kehilangan barang-barang di Rumah sewaktu rumah tidak ada penghuni, kita menyebutnya peristiwa kemalingan, kalau waktu ada penghuninya kita menyebutnya perampokan; atau kehilangan seseorang yang kita anggap berharga, kita menyebutnya “Isi dewe”
  2. Pengalaman
    • Sekumpulan peristiwa yang telah terjadi kemudian berubah penyebutan menjadi pengalaman. Menurut KBBI, pengalaman adalah (n) yang pernah dialami (dirasai, dijalani, ditanggung, dan sebagainya).
    • Oleh karena itu, Pengalaman bisa dibilang jauh lebih luas dari peristiwa, ia bisa berasal dari satu/dua/lebih peristiwa, ia merupakan serangkaian peristiwa yang dialami oleh seseorang.
    • Pengalaman kemudian terbagi menjadi pengalaman baik atau pengalaman buruk. Misalnya, peristiwa kehilangan barang seperti kecopetan, kemalingan, atau kerampokan, jelas sebuah pengalaman buruk. Hal ini barangkali didasarkan pada persepsi buruk yang terbentuk atas tempat, waktu, atau momen ketika peristiwa tersebut terjadi sampai dengan dampak buruk yang kita alami setelahnya.
    • Namun, ada juga yang disebut dengan pengalaman baik. Misalnya pengalaman itu berasal dari peristiwa mendapatkan juara di sekolah, dapat feedback dari crush, hingga tidak sengaja menemukan koper berisi uang 5 miliar tapi pas mau ngembaliin ke yang punya katanya itu memang sengaja saya tinggalkan disitu agar ditemukan kamu.
  3. Pemaknaan
    • Pengalaman buruk atas peristiwa kehilangan barang-barang menjadikan seseorang lebih berhati-hati ketika melalui tempat, waktu, atau momen yang kira-kira mengingatkannya terhadap peristiwa tersebut. Paling tidak agar peristiwa serupa tidak terulang kembali.
    • Inilah yang disebut sebagai pemaknaan. Pemaknaan merupakan level berpikir reflektif yang bertujuan untuk mengambil makna dan pembelajaran dari berbagai peristiwa > pengalaman yang telah dialami sehingga lebih siap ketika dihadapkan dengan situasi dan kondisi yang sama dilain waktu.
    • Sayangnya manusia seringkali tidak pernah siap menghadapi peristiwa buruk yang terulang dan sebagaimana pepatah Yunani: “orang pandai belajar dari pengalamannya sendiri, orang bijak belajar dari pengalaman orang lain, tetapi orang bodoh tidak belajar apapun”.
    • So, menjadi orang pintar, orang bijak, atau orang bodoh itu tergantung dari cara kita memaknai setiap peristiwa yang kita lalui dan pengalaman yang kita alami.

Peristiwa kehilangan dan kekecewaan yang teramat besar terhadap sesuatu, seseorang, bahkan sekelompok orang yang kerap dialami seseorang dapat mengakibatkan timbulnya semacam ketidakpercayaan/keragu-raguan/ketakutan tertentu untuk terulang. [Dalam ilmu psikologi, pada umumnya perasaan ini dijustifikasi sebagai sebuah trust issues, tetapi hal ini masih sebatas diagnosis pribadi (self-diagnosing)].

Hal inilah yang penulis pikir rasakan selama 7-8 tahun belakangan sehingga telah membawa penulis pada titik untuk memiliki karakter skeptik terhadap arti kepercayaan (percaya terhadap sosok, seseorang, ataupun sekelompok orang). Mungkin inilah faktor kedua yang menyebabkan “kesendirian” dan “kesepian” seolah-olah menjadi satu-satunya teman terakhir yang setia dan dapat dipercaya.

Akan tetapi, pemaknaan terhadap perasaan ini pun masih menyisakan ketidakpercayaan tersendiri, apakah hal ini benar-benar perasaan “kesendirian” dan “kesepian” yang sungguh terjadi dan dirasakan atau sebuah perasaan konsekuensi yang harus dibayar setelah terjadinya “tragedy”; Apakah ini merupakan sebuah konsekuensi dari karakter keangkuhan yang menyebabkan banyak peristiwa dan pengalaman buruk terulang atau kesalahan pemaknaan yang artinya penulis adalah orang bodoh (tidak pernah belajar apapun)?

(bersambung ke Januari 2025)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.