Beberapa waktu lalu, sebuah cuplikan video seorang bapak-bapak berpenampilan sederhana, tetapi mempunyai gaya bicara yang tidak bisa dibilang sederhana, barangkali lewat di beberapa beranda fyp sosial media kita. Bunyi cuplikan epic itu kira-kira begini:
“Menjadi tua macam bapak, tidak ada jaminan lebih pintar dari kalian. Menjadi tua macam bapak, tidak ada jaminan lebih arif. Menjadi tua tidak menjadi jaminan makin bijaksana”
“Maka dalam pencarian kebenaran lewat jalur keilmuan adalah kesanggupan merumuskan pertanyaan sebelum merumuskan jawaban”
Yaa, beliau adalah Gunawan Budi Santoso atau yang akrab disapa Kang Putu, sosok yang cukup asing bagi saya dan mesin pencari google juga tidak banyak memberikan informasi tentangnya, kecuali bahwa ia merupakan pengelola sebuah kedai kopi yang memuat sapaan akrabnya, ya “Kedai Kopi Kang Putu”. Selebihnya mesin pencari google, mengidentifikasi beliau sebagai seorang sastrawan, pengajar luas biasa di Universitas Negeri Semarang, dan seorang penulis.
Saya ingin berangkat dari cuplikan video Kang Putu yang berbicara tentang hubungan antara usia dan pendidikan dengan sifat manusia untuk mencoba merefleksikan arti dari menjadi seorang scholar atau dengan bahasa yang lebih sederhana, yaitu “Kowe Kuliah Sakjane Nggo Ngopo?”
Pertama-tama, apabila pertanyaan ini ingin ditangani secara sederhana, tentu jawabannya adalah bahwa “relatif”. Masing-masing dari mereka yang menempuh studi dengan berbagai tingkatan (S1/S2/S3) dan dari berbagai disiplin keilmuan (STEM x SOSHUM) sudah pasti mempunyai berbagai tujuan yang bervariasi dalam mendasari keputusan untuk menempuh pendidikan tinggi.
Eitss, btw kita tidak akan mendiskusikan soal lebih penting mana, STEM atau SOSHUM dan apakah wacana bahwa LPDP hanya akan diprioritaskan untuk rumpun ilmu STEM merupakan sebuah kebijakan yang problematik atau tidak karena:
- Perdebatan itu dengan sendirinya menggambarkan pemahaman yang dangkal terhadap konsep ilmu dan pengetahuan.
- Sudah pasti akan terjadi bias kelompok; mereka yang belajar STEM kemungkinan besar setuju, sedangkan mereka yang belajar SOSHUM dapat dipastikan akan reaktif.
- Di era spesialisasi ilmu-ilmu (kita bisa menemukan cabang ilmu pengetahuan bahkan memiliki sub-sub disiplin yang semakin spesifik), maka dikotomi dua rumpun STEM vs SOSHUM sudah tidak relevan sebab yang dibutuhkan sekarang adalah inter/multi/trans-disiplinary approach.
Motif untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan terbentuk oleh kompleksitas situasi dan kondisi yang beragam. Keputusan seseorang untuk melanjutkan studi kalau boleh digolongkan dengan paling sedikit kategori adalah berdasarkan jenis motivasinya, misalnya:
Motif Internal | Motif Eksternal | ||
“Sesuatu yang berasal dari dalam diri kita; bentuknya bisa niat atau harapan” | “Sesuatu yang berasal dari luar diri kita; tidak bisa kita kendalikan secara langsung” | ||
Cita-cita profesi masa kecil | misalnya jadi dokter, insinyur, dosen, dsb. | Norma sosial | Sebagian dari kita yang menempuh jenjang sekolah menengahnya adalah SMA, mungkin merasakan normalisasi aturan tidak tertulis yang mengharuskan bahwa setelah SMA harus lanjut kuliah, setidaknya minimal Sarjana. Sebab kata-kata “lulus SMA mau jadi apa” mungkin tidak terdengar asing bagi kita. |
Peluang hidup lebih baik | Entah wawasan, relasi, cara berpikir, ataupun motif ekonomi seperti pekerjaan yang layak. | Orang tua | Ada yang karena dipaksa orang tua, ada juga yang menjalankan demi orang tua. |
Orang lain | Ada juga yang karena termotivasi oleh orang lain karena figur/sosok, kesamaan tertentu, hingga pencapaian orang itu | ||
Kombinasi semuanya |
Oleh karena itu, pertanyaan “Kowe Kuliah Sakjane Nggo Ngopo” menjadi tidak mudah untuk dijawab secara tegas bagi seseorang yang tidak hanya memiliki satu motif untuk melanjutkan studi atau paling tidak karena ia bahkan ragu apakah itu benar-benar motif yang mendasari pengambilan keputusan tersebut.
(bersambung Februari 2025)