Kalau “kepercayaan” dalam sebuah hubungan dapat kita bahasakan kedalam terminologi ilmu kedokteran, kesehatan, atau kefarmasian, apakah “kepercayaan” adalah suatu aktivitas “diagnosa” yang perlu diberikan dokter, sebuah “penyakit” yang perlu disembuhkan oleh ilmu kesehatan, ataukah semacam “obat” dari seorang apoteker yang memberikan kesembuhan?
Namun, terlalu panjang untuk beropini tentang ilmu kesehatan apalagi kedokteran, lain kali saja kita bicara soal itu ya. Kita bicara tentang ilmu farmasi saja, ilmu tentang obat simplenya, kata orang-orang awam sih gitu, tapi mungkin anak farmasi mempunyai makna tersendiri terhadap keilmuannya itu. Saya hanya beropini dan berasumsi dalam kapasitas saya sebagai orang awam, mari asumsikan saja bahwa di dunia ini hanya terdapat 2 tipe orang,
- Yang pertama adalah dia yang percaya bahwa obat dapat menyembuhkan penyakit (Ini namanya – kalau kata pacar saya – Farmakoterapi). Orang tipe ini kalau mau kita golongkan lagi bisa menjadi:
Presentase Kepercayaan | Kategori | Singkatnya |
Percaya bahwa obat berfungsi 100% menyembuhkan sakit | Scientific Extreme | Ketika sakit pokoknya harus langsung minum obat biar sembuh |
Percaya bahwa obat berfungsi 75% menyembuhkan sakit | Scientific Moderat | Sisanya harus mengubah pola hidup/makan, olahraga, dst (fokus penyembuhan secara jasmani) |
Percaya bahwa obat hanya berfungsi 50% menyembuhkan sakit | Scientific Religius | Sisanya harus mengubah pola hidup/makan, olahraga, dst (jasmani) sembari berdoa memohon kesembuhan pada yang kuasa (rohani) |
Percaya bahwa obat hanya berfungsi 25% menyembuhkan sakit | Philosophical Scientific | Sisanya adalah kita perlu mengubah pola hidup/makan, olahraga, dst (jasmani) sembari berdoa memohon kesembuhan (rohani), tetapi ditambah dengan mengubah pola pikir (sugesti) tentang sakit |
- Yang kedua adalah dia yang tidak percaya bahwa obat dapat menyembuhkan penyakit (Nah, kalau ini namanya terapi Non-Farmakologis). Sementara, orang tipe ini let’s say kita golongkan juga menjadi:
Presentase Kepercayaan | Kategori | Singkatnya |
Tidak percaya sama sekali atau 100% | Orang tolol | penyakit datangnya dari karma, santet, kutukan, dst |
Tidak percaya 50% | Yaa orang tradisional gitu yang menjaga kearifan lokal | bisa jadi lebih percaya metode penyembuhan alternatif, tanpa obat-obatan, misal terapi pernafasan; pijat refleksi; bekam, dsb., tetapi masih ada unsur scientificnya |
Tidak percaya 25% | Mmm yahh, ada kan orang begini, apa namanya? Anti-kimis? | artinya mungkin percaya obat, tapi yang herbal-herbal atau tidak mengandung bahan kimia sintetis |
Okehh kesimpulannya adalah bahwa kepercayaan terhadap efektivitas obat pun faktanya bermacam-macam, bisa saya pastikan bahwa semua golongan itu ada dimasyarakat dan mungkin merupakan orang-orang terdekat kita, atau bahkan kita sendiri ada di salah satu golongan itu.
Lalu, apa hubungannya dengan “kepercayaan” dalam sebuah hubungan? Artinya, bisa jadi kepercayaan dalam sebuah hubungan juga bermacam-macam caranya dan bertingkat-tingkat kadarnya seperti seseorang yang sakit dan cara pandang dia terhadap sakit?
Kalau obat = kepercayaan dan menjadi orang yang sehat = hubungan, maka apakah obat itu menjadi satu-satunya cara untuk sehat?
Apakah kepercayaan adalah satu-satunya hal yang menjadi tolak ukur untuk sebuah hubungan? Kalau kita mau konsisten dengan cara berpikir yang logis, berbasis pada ilmu pengetahuan, maka jawabannya tidak.
Hubungan tidak bisa hanya dibangun dengan satu hal yang disebut kepercayaan, ia memerlukan hal lain sebagai penunjang. Apakah penunjang lain daripada sebuah obat? Ada mungkin namanya vitamin, suplemen makanan, dan lain-lain deh yg lebih ngerti orang kesehatan wkwk.
Tingkatan itu tergantung pada cara berpikir (mindset) kita dalam memaknai hubungan itu sendiri? Namun, secara singkat poin nya adalah bahwa landasan paling mendasar dari membangun sebuah hubungan adalah “kepercayaan”.
Kalau di KBBI ada juga istilah “keyakinan” (1) Kepercayaan; n anggapan atau keyakinan bahwa sesuatu yang dipercayai itu benar atau nyata, sedangkan (2) Keyakinan; n kepercayaan dan sebagainya yang sungguh-sungguh; kepastian; ketentuan. Mungkinkah kita boleh menyimpulkan bahwa “keyakinan” > “kepercayaan”? atau sebenarnya keduanya sama aja?
Coba kau pikirkanlah hal itu.
Walaupun secara sekilas terdengar sama, kepercayaan dan keyakinan seperti memiliki tingkatan dalam aspek tertentu ketika diucapkan oleh mulut dan dirasakan dengan hati. Mereka yang yang memiliki keyakinan, sudah pasti menaruh kepercayaan terhadap sesuatu yang diyakininya. Namun, mereka yang menaruh kepercayaan, belum tentu memiliki keyakinan karena dianggap masih ada kemungkinan terdapat ketidakbenaran didalam dia menaruh kepercayaan (entah karena isi dari yg dipercaya atau cara kita menaruh percaya)
Dari sini kemudian kita kerap merasakan perasaan yang disebut keraguan. Keraguan merupakan keadaan yang menyebabkan kita terus waspada terhadap segala sesuatu yang dianggap belum pasti, dicurigai tidak benar, atau memiliki potensi untuk merusak dan merugikan (seperti menyakiti atau membawa akibat buruk). Namun, siapakah kita berhak menghakimi perasaan dan hati seseorang? Sejauh mana kah kita perlu meyakinkan orang lain agar menaruh kepercayaannya kepada kita? Bukankah istilah “Tuhan Maha membolak-balikan hati” begitu masyhur dan menjadi pedoman kebanyakan orang yang religius?
Semua pertanyaan itu memerlukan jawabnya dari orang per orang dan hati ke hati, itulah kenapa kita sering menyebutnya obrolan untuk membicarakan tentang perasaan disebut sebagai Curahan Hati (curhat). Artinya menggunakan hati dan perasaan, bukan dengan akal dan pikiran. Bahkan ada istilah Cinta Buta, yaitu bahwa cinta membutakan akal dan pikiran atau bahkan nafsu dan tindakan.