Selama kita masih meyakini bahwa menjadi pragmatis adalah satu-satunya prinsip kebenaran, maka kita tidak memiliki moral standing untuk menyatakan diri lebih baik dari orang-orang yang dianggap rakus akan kekuasaan.
Tidak perlu jauh-jauh untuk melihat budaya pragmatisme yang telah menjadi kultur masyarakat modern, let’s say, dalam sebuah lingkungan pendidikan misalnya; kebanyakan institusi pendidikan kita (meskipun tidak semua) kerap menekankan nilai “koneksi” daripada “kompetensi” sebagai capaian lulusan. Alih-alih mencetak manusia yang mampu berpikir benar, lembaga pendidikan saat ini telah terkooptasi oleh logika industrialisasi akibat dari pola pendidikan pragmatis tersebut.
Contoh, kita mungkin tidak asing dengan ungkapan seperti:
Jadilah mahasiswa yang aktif berkegiatan, ikuti banyak organisasi, dan perluas jejaring karena kelak setelah lulus, dunia kerja tidak membutuhkan IPK tinggi, tetapi relasi yang luas
Ungkapan semacam itu sekilas mempunyai nilai kebenaran yang mudah untuk diamini kebanyakan orang di tengah gempuran pencapaian instan. Namun, dalam arti tertentu, ungkapan semacam ini sebenarnya rentan menjadikan seseorang berpikir secara pragmatis.
Misalnya, sah-sah saja ketika seseorang mendapatkan pekerjaan pada suatu perusahaan atau menduduki jabatan tertentu dalam sebuah instansi pemerintahan karena mempunyai nilai koneksi yang lebih karena orang berpengaruh didalamnya atau bahkan karena ikatan kekeluargaan yang dimilikinya, dibandingkan orang biasa yang tidak mempunyai koneksi, tetapi mempunyai kompetensi memadai dan mungkin seorang pekerja keras.
Bukankah hal tersebut adalah bentuk relasi dan koneksi yang dia miliki?
Para job seekers lebih mengenalnya dengan istilah “orang dalam” daripada “ketidakadilan” atau “nepotisme”. Selain itu, istilah “orang dalam” memiliki konotasi yang lebih negatif, daripada istilah “koneksi” yang terdengar lebih positif. Apakah kedua istilah ini sebenarnya mempunyai makna yang sama?
Makna ungkapan “IPK tidak terlalu dibutuhkan dan justru relasi luas yang lebih diperlukan” sebenarnya telah membawa kita pada cara berpikir nepotis. Yang kiranya tidak dikenal, maka tidak bisa menjadi siapa-siapa atau menjadi apa-apa.
UGM yang setiap tahunnya menerima 10rb an mahasiswa S1, pun tidak menjamin semua orang yg kuliah dikampus ini dapat survive dalam dunia yang penuh dengan persaingan hari-hari ini. Kalau mau ditracing, pasti banyak alumni-alumni UGM yang tidak menjadi apa-apa atau mungkin hanya menjadi orang biasa saja (lihat saja tulisan-tulisan di Mojok.co) karena memang bukan anaknya siapa-siapa.
Dengan demikian, penekanan berlebih terhadap nilai koneksi pada dasarnya juga berkontribusi dalam menciptakan manusia-manusia pragmatis bermental nepotis. Oleh karena itu, apa yg disebut sebagai istilah perlu “orang dalam” rasanya tidak hanya terjadi di politik, tetapi hampir di seluruh struktur sosial masyarakat mempraktikkan itu. Hanya saja mungkin karena praktik politik identik dengan kekuasaan sehingga lebih teramplifikasi, terutama karena implikasi dari kekuasaan yang signifikan terhadap kehidupan banyak orang. Lantas orang kemudian merasa geram dengan peristiwa-peristiwa politik yang dianggap merugikan.
Jadi sebenarnya kita tidak perlu heran begitu dengan cara kerja atau cara berpikir yang dilakukan oleh para penguasa. Kita ini selalu saja tiba-tiba heboh, ikut-ikutan rame, tetapi setelahnya hilang memikirkan kehidupan masing-masing juga tanpa pernah merefleksikan diri bagaimana cara kita berpikir juga mempengaruhi kondisi sosial masyarakat.
Pada akhirnya pendidikan kita gagal mencetak manusia yang mampu berpikir dengan benar, tetapi hanya dapat