Merelevansikan Ide Demokrasi dalam Keseharian: Mengapa itu Digembar-gemborkan dalam Suksesi Kepemimpinan Nasional
Drama panjang proses pemilihan umum presiden dan wakil presiden akhirnya usai. Peluit panjang wasit tanda berakhirnya pertandingan telah dibunyikan melalui pembacaan amar putusan dalam Sidang Putusan PHPU Pilpres 2024 kemarin.
Namun, bagi sebagian kelompok, persoalan belum selesai (dan memang sepertinya tidak akan pernah selesai). Karena masih terdapat sebagian besar (baca: mayoritas) masyarakat (yang sering kita kategorikan sebagai “orang awam”) yang tidak peduli atau minimal tidak mengetahui arti dari kata “demokrasi” secara mendalam. Mereka tentu akan menganggap terlalu naif dan membuang-buang waktu jika terus-terusan mempersoalkan (juncto menganalisis, mengamati atau bahkan menelitinya) fenomena politik yang demikian secara habis-habisan. Mari kita sebut kelompok masyarakat yang demikian adalah golongan pragmatism-realis.
Akan tetapi, justru persoalannya adalah disitu. Pemahaman masyarakat terhadap suatu fenomena politik atau yang masyarakat asosiasikan sebagai kata “politik” masih terbatas pada konsepsi “politik” sebagai pertarungan elektoral untuk memperoleh jabatan dan kekuasaan. Tidak salah, tetapi faktanya adalah bahwa pemahaman kata politik yang demikian merupakan pemahaman dalam arti yang sempit. Maka, jangan heran jika ide tentang demokratisasi atau sekedar menyodorkan kata “demokrasi” merupakan hal yang “mewah” dan jauh dari keseharian masyarakat kebanyakan. Mari kita sebut mereka yang memiliki kapasitas pengetahuan yang lebih memadai – katakanlah demikian – sebagai golongan intelektualism-idealis.
Oleh karena itu, seluruh tulisan ini merupakan wujud dari pendapat (atau dalam bahasa ilmiahnya adalah argumentasi) yang dibangun akibat dari proses mengenyam pendidikan tinggi sehingga perasaan yang dituangkan adalah tanggung jawab untuk mengamalkan keilmuan yang diperoleh (setidaknya melalui tulisan singkat ini). Dengan demikian, setidaknya dengan ini quote yang sering berseliweran tentang tujuan pendidikan adalah mempertajam kecerdasan, memperkokoh kemauan, serta memperhalus perasaan (Tan Malaka) menjadi sangat relevan untuk di kutip.
Pemahaman terhadap kata “politik” atau dalam mengartikan makna “politik” tentu menjadi lebih luas ketika orang mengenyam pendidikan secara lebih tinggi, terutama oleh mereka yang mendalami ilmu-ilmu sosial-politik, hukum, dan utamanya filsafat. Jika anda merupakan seorang sarjana yang mengenyam ilmu-ilmu tersebut masih belum memaknai lebih jauh berbagai arti kata, maka sudah dapat dipastikan bahwa anda belum layak menyandang gelar sebagai seorang sarjana apalagi memperoleh cap sebagai seorang intelektual (baca: yang berpendidikan).
Dalam realitas sosial, upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan merupakan hal yang mendasar yang menjadi inti dari kehidupan, terutama kebutuhan ekonomi. Dalam ilmu sosial secara umum misalnya kita belajar bahwa kebutuhan mendasar manusia selalu digolongkan ke dalam 3 kategori, yaitu pangan (makan), sandang (pakaian), dan papan (tempat tinggal). Dalam hal ini, kebutuhan makan merupakan hal yang pertama dan mendasar yang harus dipenuhi.
- Orang masih bisa hidup dan bernafas kalau tidak punya tempat tinggal tetap, tetapi mereka menjadi seorang tuna wisma atau bahkan ekstrimnya disebut gelandangan.
- Orang masih bisa hidup dan bernafas kalau tidak punya pakaian yang layak, tetapi mereka akan disebut sebagai orang gila karena tidak mengenakan pakaian dan berkeliaran di muka umum.
- Namun, orang tidak bisa hidup kalau tidak terpenuhi kebutuhan atas pangan. Mungkin orang masih bisa bertahan hidup dengan tidak makan atau minum selama 2-3 hari, tetapi ilmu kedokteran dan ilmu gizi akan berkata bahwa mereka akan kelaparan, kekurangan gizi, dan jatuh sakit yang pada akhirnya bisa berujung pada kematian.
Pada dasarnya, dalam sebuah realitas kehidupan sosial di Indonesia, ketiganya tidak bisa terpenuhi secara imbang dan berkecukupan, bahkan cenderung banyak yang masih mengalami kekurangan. Kesetimbangan dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup ini yang kemudian dikonversi menjadi besar-kecilnya pendapatan (oleh ilmu ekonomi) secara sederhana untuk mengkategorisasikan kelompok yang disebut miskin-kaya, stratifikasi ketimpangan kelas sosial (oleh ilmu sosiologi), lalu mengkolektifkan secara keseluruhan jumlah dan memetakan persebarannya di Indonesia (oleh ilmu statistika), serta berbagai ilmu pengetahuan lain yang berperan dalam menentukan upaya pemenuhan kebutuhan manusia di Indonesia tersebut.
Lantas, apa relevansinya dengan kata “politik”, “demokratisasi”, dan mungkin “filsafat” dalam perspektif yang dipahami oleh orang yang mengenyam pendidikan tinggi?
Dalam lingkungan pendidikan tinggi, dikenal istilah tri dharma pendidikan tinggi (pendidikan-pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat). Orang yang mengenyam pendidikan tinggi sudah seharusnya mengamalkan ketiga tri dharma tersebut (memang sebuah cita-cita yang sangat luhur dan sulit sekali untuk dipraktikkan, bukan). Pemahaman kita terhadap suatu konsep dan fenomena sosial sudah seharusnya disebarluaskan kepada masyarakat sebagai wujud pengabdian tersebut. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban civitas academica untuk menyebarkan ilmu pengetahuan yang diperoleh dan diproduksi selama proses pendidikan.
Berbicara kata “politik” seharusnya jangan hanya merujuk pada konflik antar elite partai politik, tingkah laku pejabat publik, atau kasus korupsi yang viral dalam setiap pemberitaan massa saja. Politik merasuk dalam setiap aspek kehidupan manusia (inilah mengapa Aristoteles – seorang filsuf klasik – menyampaikan tentang kodrat manusia sebagai zoon politicon: makhluk yang berpolitik).
Jika mengutip pendapat seorang akademisi, kata politik memiliki dua makna berbeda, yaitu the political dan the politics. The Political berarti sebuah tatanan untuk kebaikan bersama, sedangkan the politics merujuk pada politik sehari-hari atau biasa disebut politik praktis. Politikus dalam kesehariannya memang menjalankan “politik” dalam arti politik praktis, misal di ranah dewan atau legislatif. Namun, artinya bukan hanya politikus yang menjalankan aktivitas politik (dalam pemahaman lebih luas demikian), masyarakat juga menjalankan kegiatan politik sehari-harinya, terdampak oleh politik setiap hari. Orang berdagang, bersaing menarik konsumen; seorang pelajar berkompetisi meraih kejuaraan demi memperoleh penghargaan, dst; para pencari kerja melamar pekerjaan bersaing dengan para pelamar lainnya; tukang becak mencari nafkah harus berkeringat karena sudah tidak laku sebab kalah bersaing dengan transportasi online; dan masih banyak lainnya.
Itu, apabila politik juga diartikan sebagai upaya persaingan (baca: kompetisi). Dalam hal apa? Dalam hal memperebutkan, memperoleh, mengelola sumber daya untuk memenuhi keinginan (baca: kebutuhan). Beda lagi jika konteksnya adalah sumber daya itu terbatas (yang kemudian menjadi definisi ilmu ekonomi). Inilah yang kemudian ekonomi tidak dapat dilepaskan dari politik. Lalu, dimana relevansi kesehariannya? Apa kaitannya dengan ide “demokrasi” yang terkesan sebagai barang (baca: kata) “mewah” tadi?
Mari kita pahami makna demokrasi secara singkat adalah bahwa semua orang mempunyai hak yang sama atas segala sesuatu dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, tanpa halangan suatu apapun. Oleh karena itu, kesamaan akses, kesetaraan, dan nilai-nilai egalitarianisme (baca: kowe karo aku podo-podo butuh mangan, paling ora mangan sego yoo ngopo kowe luwih istimewa daripada aku cuk, opo masalahmu) menjadi kekuatan nilai-nilai dasar yang dibawa oleh ide demokrasi.
Misalnya, kita berbicara tentang mencari lapangan pekerjaan (motif dibalik kegiatan ini tentunya adalah faktor kebutuhan dasar manusia tadi; memperoleh pekerjaan > mempunyai pendapatan “layak” > mampu memenuhi kebutuhan hidup > mencapai kebahagiaan (ini terlalu jauh, kita tidak akan bahas ini karena yaa ranahnya adalah filosofi tingkat tinggi). Tapi, intinya adalah tadi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun, persoalannya adalah ketika anda saja, sangat sulit memperoleh pekerjaan, bahkan sulit mendapatkan akses untuk memperoleh pekerjaan secara sama dan setara dibanding orang-orang yang memiliki privilege (baca: keistimewaan tertentu), misal anak seorang penguasa, kenalannya petinggi perusahaan, atau keistimewaan lainnya dibandingkan dengan anda yang bukan siapa-siapa, tidak punya apapun untuk dipertaruhkan, selain niat dan tekad untuk pemenuhan kebutuhan hidup? Bukankah ini merupakan ketidakadilan dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup yang mendasar tadi?
Nah, kira-kira itulah yang dimaksud dengan “demokrasi” jika tarik ke ranah yang paling fundamental (baca: mendasar) di masyarakat. Pada intinya, kata kunci yang ditawarkan oleh demokrasi adalah kesetaraan dan kesamaan akses untuk pemenuhan kebutuhan. Ketika kita bawa kedalam skala wacana yang lebih besar, seperti negara misalnya, maka tugas negara adalah (khususnya yang menerapkan sistem politik demokrasi) harus mewujudkan kesejahteraan sosial. Namun, menurut Mohammad Hatta (2018) untuk mencapai itu semua tidak bisa berhenti pada demokrasi politk, perlu juga demokrasi di bidang ekonomi. Akan tetapi, pertanyaannya adalah demokrasi politik saja belum matang dan masih menyimpan banyak persoalan, bagaimana mewujudkan demokrasi ekonomi kira-kira?
Pengembangan dan pemberdayaan UMKM barangkali merupakan salah satu langkah progresif untuk menciptakan cita-cita tersebut, tetapi ini merupakan jalan yang panjang. Persaingan dengan perusahaan-perusahaan kapitalis yang terus berkembang bukan tanpa persoalan. Toko kelontong yang mulai berkurang karena alfamart dan indomaret yang bermunculan bahkan bersebelahan, misalnya, itu adalah salah satu persoalan. Menyadarkan jumlah penduduk yang ratusan juta ini secara keseluruhan (tentang pentingnya sistem demokrasi) menjadi tantangan atau menawarkan ide-ide kesetaraan demi kemaslahatan. Budaya dan kultur feodalisme yang melekat pada bangsa ini memang masih menjadi persoalan karena memang Indonesia adalah negara dengan sejarah sistem kerajaan, bukan suatu hal yang mengherankan bahwa untuk mengikis budaya yang sudah tidak relevan ini menjadi sebuah kesulitan dari zaman ke zaman.
Lagi-lagi, ini bukan soal Gibran, yang disayangkan adalah proses pemaknaan ide dibaliknya dan yang menyertainya. Jadi mari kita tetap kembali dengan kesibukan keseharian. Tetap harus pusing dengan skripsi, cari pekerjaan agar tidak dikatain pengangguran, memikiran pembayaran cicilan bulan depan, dan konflik perasaan karena doi tidak kunjung memberi kepastian atau yang sudah punya pasangan yaa keributan rutinan karena dirasa kurang perhatian.
informasi sangat membantu