~Selamat Idul Fitri 1445 H~
Instagram story mulai dipenuhi dengan postingan cerita bahagia dari setiap keluarga yang merayakan hari raya. Bagaimana dengan keluarga saya? Adakah cerita bahagia didalamnya? Atau tepatnya mengapa dari tadi saya tidak merasakan adanya kebahagiaan di tengah hari kemenangan?
Dari kecil saya selalu penasaran bagaimana rasanya merayakan hari raya dengan nuansa kehangatan keluarga besar. Yah, bulan pertama bangkit dari keterpurukan sudah kembali diuji oleh Tuhan dengan rasa kesepian (baca: kesedihan) melewati suasana sesudah ramadan.
Keluarga besar kami memang tidak seiman, satu-satunya alasan kami bisa ikut merayakan Idul Fitri juga sudah hilang, tinggal kenangan. Mbah kakung dari ibu kami sudah tiada sejak saya usia tiga tahunan, sementara mbah putri harus dipanggil pada tahun 2021 lalu saat pandemi covid dalam suasana yang kurang menyenangkan.
Satu-satunya alasan saya pulang justru karena mamah sedang sendirian, bukan karna ingin merayakan lebaran. Tapi hidup tetap harus dilanjutkan bukan? Siapa yang bisa meminta ingin dilahirkan dalam keluarga siapa, kondisi seperti apa, atau situasi yang bagaimana. Mungkin bukan hal yang menyedihkan dilahirkan di keluarga yang berbeda iman, saya bisa sedikit mengerti apa maknanya perbedaan, tetapi perihal kebahagiaan dan kesedihan selalu saja dapat dipertanyakan, bukan? Pada akhirnya kebahagiaan dan kesedihan selalu ada berdampingan, dunia ini akan selalu membutuhkan kesedihan untuk bisa mengerti bahwa ada yang namanya kebahagiaan dan utamanya kehangatan.